Laki-Laki Egois

Laki-Laki Egois 

 

https://i1.wp.com/f1-styx.imgix.net/article/2019/09/17145906/wonderland-com-sg.jpg?fit=2450%2C1543&ssl=1

Setelah seminggu ‘tak bersua karena pekerjaan masing-masing, akhirnya kami memutuskan bertemu di tempat kali pertama berjumpa, Kedai Kopi yang berada di antara SMPku dan SMP Rahman dulu. Dimana aku diperkenalkan oleh teman-temanku dengan Rahman. Pacar pertamaku sejak menginjak bangku kelas 8 SMP. Percaya atau tidak, selama 11 tahun lamanya kami menjalin hubungan hanya satu kali kami sempat putus, dan tidak lama setelah itu kami kembali lagi menjalin hubungan.

Kopi yang kami pesan datang, aku menghirup dalam-dalam aroma Kopi yang ada di depanku, aromanya benar-benar memabukkan. Sensasinya menenangkan setiap syaraf yang sebelumnta sempat tegang karena berkutat oleh pekerjaan.

“Kristina, kamu gak pernah berubah, masih sama seperti Kristina yang aku kenal…”

Rahman tersenyum setelah memperhatikan kebiasaanku menghirup aroma Kopi. Aku tersenyum malu, Rahman seperti tahu semua hal terkecil mengenai diriku.

Kemudian, kembali hening.

Rahman melihatku, tetapi matanya ‘tak pernah menatap mataku. Hal itu sudah dilakukannya setelah ia memutuskan untuk mendalami agama yang dianutnya. Semula kukira Rahman akan segera memutuskan hubungan kami, karena yang kuketahui, di dalam kepercayaan Rahman, ia ‘tak boleh dekat dengan perempuan apalagi berpacaran.

Suasana yang ada di antara aku dan Rahman di Kedai Kopi ini benar-benar asing bagiku. Rahman banyak memilih diam sedangkan aku memikirkan alasan diamnya Rahman.

Apa aku ada salah padanya?

Tidak tidak, komunikasi kami berjalan baik seminggu belakangan ini, sama seperti biasanya.

Apa ada orang lain yang mengganggu hubungan kami?

Tidak, aku mengenal Rahman. Dia laki-laki yang setia, ‘tak pernah sekalipun ia kedapatan mendekati wanita lain selain aku.

Atau, Rahman…. Hal yang aku takuti selama ini…, benar-benar terjadi?

Aku menarik napasku panjang. Aroma Kopi pekat yang semula menguar yang dapat menenangkan hatiku, kini hilang, seolah aku ‘tak dapat mencium aromanya lagi.

Aku harusnya tau bibir yang terkatup rapat itu sedang berusaha merangkai kata-kata yang tidak menyakiti hatiku.

“Kristina…” Sama seperti biasanya, suara yang selalu kurindukan itu

 memanggilku dengan lembut.

Aku menunduk, menyembunyikan wajah sedihku yang jelek. Malu memperlihatkannya ke depan orang yang aku cintai. Prasangkaku pasti benar.

“aku tahu” satu isakkan tertahan, keluar begitu saja tanpa izin.

Memalukan…

Aku dapat merasakan emosi terkejut Rahman yang menguar.

“aku tahu hubungan kita kedepannya ‘tak akan mudah. Kepercayaan kita berbeda. Seharusnya aku melepaskanmu dari awal dan tidak menunggu…”

Aku tau “menunggu” yang dimaksud Rahman apa. Dia pernah membahas ini sebelumnya, pembahasan yang pernah membuat kami putus setahun lalu. Rahman memang tidak pernah memaksa, tapi kurasa ajakan itu melukai hubungan kami. Ajakan itu seperti menegaskan bahwa kami ‘tak mungkin bersatu.

Dia menungguku untuk ikut ajaran agamanya.

Aku berusaha mengeluarkan suara, tetapi rasanya ada sesuatu yang menahan agar suaraku tidak keluar walau untuk mengutarakan pikiranku. “ka- kamu tahu itu gak akan mungkin terjadi” perasaanku rasanya sakit.

“aku mengerti, sebagai pendeta, ayahmu ‘tak mungkin mengizinkanmu untuk mengikutiku. Aku juga ‘tak dapat berbuat apa-apa tentang hal itu”

“kamu tau, Kris, semakin lama aku menjalani hubungan ini, aku semakin merasa bersalah dengan Tuhanku dan kamu. Aku yang ‘tak sanggup melawan perintah Tuhanku dan aku juga yang ‘tak sanggup memutuskan hubungan kita. Kris, aku adalah laki-laki yang egois, kamu gak seharusnya bersama laki-laki seperti aku” helaan napas panjang keluar dari Rahman, napas yang berat sebelum memutuskan sesuatu.

“Kristina, aku harap kamu mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku…” suara kalimat akhir memelan, seolah ‘tak rela apa yang dikatakannya terjadi.

Aku beranikan menegakkan wajahku, memandang Rahman tajam. ‘tak ada lagi isakan yang keluar, tetapi air mata ‘tak dapat dihentikan.

Aku kuat, aku kuat, aku kuat!

Dengan air mata yang terus mengalir, aku tersenyum.

“baiklah, hubungan kita sampai di sini” 

Dalam diam aku membuat janji, 

seperti Anyelir Merah yang setiap kelopaknya halus seperti kertas... 

Aku gak bakalan ngelupain kamu... 

 

 

Pontianak, 28 Oktober 2020

 

Komentar

  1. Balasan
    1. terimakasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca tulisan saya. semoga harimu menyenangkan!

      Hapus
  2. Pergi, hilang, dan lupakan :v
    Semoge penulisnye jadi penulis terkenal Aamiin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca tulisan saya. semoga harimu menyenangkan!

      Hapus
  3. Awokwok gw fokus sama nama kristina, mengingatkan ku pada seseorang yg sering distalking.
    Good cerita nya, semangat cuk semoga one day akan ada buku yang diterbitkan ♡

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tokoh-Tokoh Sosiologi Klasik, Siapa Saja Mereka?

SEUNIK APA BULAN DI MATA KAMU?